Ular sendok jawa atau kobra jawa (Naja sputatrix) adalah spesies ular sendok yang endemik di pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Sebutan ular ini dalam bahasa Inggris adalah Javan spitting cobra. Ular ini adalah salah satu jenis kobra yang mampu menyemprotkan racun bisa ke arah pengganggunya.
Naja sputatrix dideskripsikan pada tahun 1827 oleh ilmuwan Friedrich Boie dari Jerman. Nama genusnya, Naja, berasal dari kata Sanskerta: nāgá (नाग), yang berarti "naga" atau "ular". Sedangkan nama spesifiknya, sputatrix, dari bahasa Latin: sputator, yang artinya "peludah" atau "penyembur".
Panjang tubuh ular-sendok jawa mencapai 1.85 meter, tetapi panjang rata-rata yang sering ditemukan hanya sekitar 1.3 meter. Kepalanya berbentuk agak jorong dan sedikit lebih besar dari lehernya, dengan mata berukuran sedang dan pupil bundar. Sisik-sisik pada dorsal (tubuh atas) tersusun sebanyak 25-19-15 deret.[2]
Pewarnaan pada tubuh ular-sendok jawa bervariasi berdasarkan wilayah sebarannya. Spesimen-spesimen di Jawa berwarna cenderung kehitaman, kecokelatan, atau kekuningan. Tidak seperti ular sendok lain pada umumnya, ular ini tidak memiliki corak atau tanda di lehernya.[3][4] Spesimen-spesimen di pulau Jawa bagian barat berwarna kehitaman atau kelabu, sedangkan spesimen-spesimen di bagian timur dan di Nusa Tenggara cenderung berwarna kecokelatan. Bagian bawah tubuh ular ini berwarna krim atau kekuningan.[5]
Ular-sendok jawa endemik dan hanya terdapat di pulau Jawa dan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Lomblen, dan Alor). Kopstein (1936) menyatakan bahwa ular-sendok jawa juga terdapat di Sulawesi. Akan tetapi, anggapan ini kemudian disangsikan oleh De Lang & Vogel (2005).[1][6][7]
Ular-sendok jawa terdapat di daerah dataran rendah hingga ketinggian 600 meter dpl.[5] Habitat utamanya adalah hutan hujan, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah kering.[2] Makanan utamanya adalah tikus, ular lain, kadal, dan beberapa jenis kodok.[5]
Seperti jenis kobra lainnya, ular-sendok jawa memiliki cara pertahanan diri dengan mengangkat kepala dan mengembangkan lehernya membentuk tudung atau sendok apabila merasa terganggu. Ular ini juga mampu menyemburkan racun bisanya tepat ke arah mata pengganggunya. Jika bisanya mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan.[5]
Ular-sendok jawa berkembangbiak dengan bertelur (ovipar). Jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 13 sampai 19 butir.[6] Telur-telur tersebut akan menetas setelah diinkubasi selama 88 hari.[7] Anak ular yang baru menetas berukuran panjang antara 24 sampai 28 cm.[5]
Vipera (Echidna) flava Merrem, 1820 Naja nivea Boie, 1827 Naja gutturalis Smith, 1838 Naja intermixta Duméril, Bibron & Duméril, 1854 Naja haje var. capensis Jan, 1863 Naia flava Boulenger, 1887 Naja flava Sternfeld, 1910 Naja nivea FitzSimons & Brain, 1958 Naja nivea Harding & Welch, 1980 Naja nivea Auerbach, 1987 Naja nivea Welch, 1994
Ular-sendok tanjung (Naja nivea) atau ular-sendok Cape, atau dalam bahasa Inggris disebut Cape cobra atau yellow cobra (kobra kuning), adalah spesies ular sendok yang endemik di Benua Afrika bagian selatan. Penduduk Afrika Selatan menyebutnya "geelslang" (ular kuning), "bruinkapel" (ular-sendok cokelat), "koperkapel" (ular-sendok tembaga), karena variasi pewarnaan pada tubuhnya.
Nama ilmiahnya, Naja nivea, pertama kali dideskripsikan oleh ilmuwan Carl Linnaeus pada tahun 1758.[2] Nama ilmiah genusnya, Naja, diambil dari kata Sansekerta, nāgá (नाग) yang berarti "ular-sendok". Sedangkan nama spesifiknya, nivea, diambil dari kata bahasa Latin, nix atau nivis, yang berarti "salju", atau niveus yang artinya "seperti salju".[3]
Ular-sendok tanjung dewasa berukuran panjang sekitar 1.2 sampai 1.4 meter, tetapi mungkin bisa mencapai 1.6 meter. Ular jantan berukuran lebih besar dari ular betina. Spesimen terpanjang yang pernah ditemukan adalah ular jantan dari Aus, Namibia, dengan panjang total mencapai 1.88 meter.[4] Spesimen jantan lainya yang juga berukuran panjang ditemukan berasal dari De Hoop Nature Reserve, provinsi Western Cape, Afrika Selatan, dengan panjang total mencapai 1.86 meter.[5]
Ular-sendok tanjung memiliki pewarnaan tubuh yang bervariasi, dari warna kuning sampai cokelat keemasan dan bahkan kehitaman. Seekor ular-sendok tanjung memiliki bintik-bintik atau bercak-bercak "noda" berwarna hitam atau pucat. Walaupun pewarnaan tubuhnya tergantung pada faktor geografis, tetapi bisa saja terdapat semua variasi warna dalam satu wilayah sebaran. Sebagai contoh, spesimen-spesimen di gurun Kalahari di Botswana dan Namibia berwarna cenderung kekuningan dibandingkan populasi yang ada di sebelah selatannnya.[6] Akan tetapi, di De Hoop Nature Reserve dan beberapa lokasi di Western Cape, Afrika Selatan, dapat ditemukan semua variasi pewarnaan.[5] Spesimen yang masih muda umumnya memiliki leher berwarna gelap hingga bagian perut. Warna tersebut berubah dalam kurun waktu satu atau dua tahun seiring dengan pertumbuhannya.
susunan sisik (scalation) pada ular-sendok tanjung terdiri dari sisik dorsal (tubuh atas) berjumlah 21 di bagian tengah badan, sisik ventral (bagian bawah tubuh) sebanyak 195-227, sisik subkaudal sebanyak 50-68 (berpasangan), sisik anal tunggal, sisik labial (bibir) atas 7 buah (3+4 bersentuhan dengan mata), satu sisik preokular, 3 (atau bisa 4) sisik postokular, sisik labial bawah sebanyak 9 (8-10) buah, dan perisai (sisik) temporal 1+2.[4]
Ular-sendok tanjung tersebar di Namibia, Botswana, Rep. Afrika Selatan, dan Lesotho.[1]
Walaupun sebaran geografisnya lebih sempit dibandingkan jenis kobra yang lain, tetapi ular ini menghuni berbagai macam habitat. Ular ini menyukai daerah bersemak, padang rumput (termasuk sabana), gurun Namib dan gurun Kalahari. Ular ini bahkan juga menghuni liang hewan pengerat, gundukan rayap, daerah gersang, dan sela-sela batu. Ular ini juga dapat ditemukan di dekat sungai atau perairan.
Di Lesotho, ular-sendok tanjung dapat ditemukan di dataran rendah hingga ketinggian 2500 meter dpl. Ular ini dapat dijumpai di hutan atau padang rumput di provinsi Free State, Afrika Selatan, di daerah tebing berbatu di provinsi Cape, dan di gurun atau-semi-gurun di wilayah-wilayah sebarannya. Ular-sendok tanjung juga terdapat di sekitar pemukiman di mana ular ini dapat memasuki rumah untuk berlindung dari panasnya sinar matahari atau berburu mangsa seperti hewan pengerat. Hal ini dapat membuatnya kontak langsung dengan manusia.[4][6]
Ular-sendok tanjung adalah ular diurnal (berkelana pada siang hari) dan terestrial (berkelana di atas tanah), walaupun dapat memanjat pohon atau tanaman. Jika merasa terganggu, ular ini akan mengangkat kepala dan bagian depan tubuhnya, lalu mengembangkan lehernya dan mendesis dengan keras. Saat melakukan pertahanan diri, ular ini akan menyerang tanpa ragu-ragu.[6] Jika gangguannya tidak terlalu berarti, ular ini segera meloloskan diri, tetapi ular ini akan melakukan pertahanan diri khasnya lagi jika mengetahui pergerakan apapun.[4] Ular-sendok tanjung sangat agresif ketika musim perkembangbiakan.[6]
Makanan utama ular-sendok tanjung sangat beragam, terdiri dari ular lain, hewan pengerat, kadal, dan burung. Ular ini juga terkadang memangsa jenisnya sendiri (kanibalistik).[6] Ular ini juga memiliki pemangsa alami, misalnya ratel, meerkat, dan beberapa jenis burung pemangsa seperti burung sekretaris dan jenis-jenis elang pemangsa ular di Afrika, yang mungkin juga memangsa ular ini selain jenis ular lain.[4]
Ular-sendok tanjung berkembangbiak dengan bertelur (ovipar). Musim berkembangbiak biasanya berlangsung antara bulan September dan Oktober. Ular betina bertelur sebanyak 8 sampai 20 butir pada periode Desember-Januari, di dalam lubang atau gundukan yang terlantar, atau lokasi-loaksi tertentu yang basah dan hangat.[6] Ular muda yang baru menetas berukuran panjang antara 34 sampai 40 cm.[4]
close-up kepala bagian atas dan dorsal
Kobra tanjung, spesimen dengan bercak-bercak cokelat gelap dan kekuningan
Spesimen berwarna cokelat polos
Spesimen berwarna cokelat-gelap kemerahan
Spesimen dari Auob Riverbed, Kgalagadi Transfrontier Park, Afrika Selatan
Seekor kobra tanjung dengan pose mengembangkan lehernya.
Mengapung di air sambil melakukan pertahanan diri khasnya
Ular-sendok tanjung adalah salah satu jenis kobra yang paling berbahaya di Afrika, berdasarkan sifat bisanya dan seringnya ular ini ditemukan di sekitar rumah.[7] Racun bisanya memiliki kandungan post-sinaptik neurotoksin dan mungkin juga kardiotoksin,[8] yang berpengaruh terhadap sistem respirasi (pernapasan), sistem saraf, dan jantung. Antibisa untuk mengobati gigitan ular ini adalah antibisa polivalen yang diproduksi oleh South African Institute of Medical Research (SAIMR).[9]
HANTUSLOT merupakan bandar dengan link daftar gacor maxwin number #1 di Indonesia dan login tanpa hambatan. Memiliki ratusan permainan judi slot online yang mudah di menangkan dengan total kemenangan mencapai miliaran rupiah. Situs yang telah di lengkapi oleh lisensi resmi dan anti blokir sangat aman bagi para pemain untuk mencoba. Slot Maxwin menjadi salah satu alasan mengapa situs ini menjadi nomor 1 sebagai tempat bertaruh game paling gacor.
RTP LIVE SLOT HARI INI MICROGAMING | RTPHANTUSLOT
Jika anda bertanya mengapa provider game ini banyak diminati, ini karena kelebihannya disukai masyarakat luas yaitu winrate yang tinggi dan game yang mudah dimainkan serta menarik minat banyak orang yang pernah memainkannya, sampai sampai Spade Gaming digolongkan sebagai yang terbaik di dunia sejauh ini.
Berikut ini merupakan permainan slot microgaming dari RTPHANTUSLOT yang menarik perhatian para bettors Indonesia diantaranya adalah :
Sumatran Spitting Cobra
Berbisa Tinggi dan Berbahaya
Spesies: Naja sumatrana
Panjang Maksimum : 1.6m / 160cm
Kontribusi pada ekosistem : Menjaga keseimbangan populasi kodok, kadal, tikus dan katak (khususnya Bufo.sp). Individu masih kecil/muda akan dimangsa oleh pemakan ular seperti Ular Welang.
Bahaya Bagi Manusia : Ular ini berbisa tinggi, gigitan dari individu muda maupun dewasa dapat berakibat kematian. Selain itu, ular ini juga memiliki mekanisme defensif dengan dapat menyembur bisa kepada mata penganggu, yang dapat menyebabkan luka permanen bahkan kebutaan pada mata sehingga sebaiknya menjaga jarak paling dikit 2m jika menemukan ular sendok.
Status konservasi dan ancaman : Naja sumatrana tidak memiliki masalah konservasi di Indonesia karena ular ini telah beradaptasi dengan lingkungan dengan baik sehingga jumlah populasi akan selalu padat. Ular ini didaftarkan sebagai Least Concern di IUCN Red List. Ular ini jarang diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan di Indonesia, dimana Naja sputatrix sering dijual belikan.
Persebaran : Sumatera, Borneo, Bangka, Belitung
Ular Sendok Sumatra merupakan ular elapid berbisa tinggi yang cukup sering ditemukan pada ketinggian rendah di daerah terganggu oleh aktivitas manusia, khususnya di Singapura, namun di Indonesia keberadannya cukup jarang ditemukan. Biasanya ular ini akan menghindari konfrontasi dengan manusia, namun ular ini akan melawan jika terpaksa dengan menegakkan tubuhnya, memperlihatkan "kerudungnya" dan membuat suara mendesis jika merasa terancam. Sifat defensif ini lebih sering dilakukan oleh individu dewasa. Jika sang penganggu tidak segera memundurkan diri, maka ular kobra ini akan menyemburkan bisa kepada matanya, semburan bisa oleh ular ini diketahui tepat sasaran.
Ular ini dapat hidup di daerah dekat dengan tempat tinggal manusia, habitat ideal bagi ular ini sangat beragam mulai dari taman dekat kota, daerah pedesaan dan sekitar selokan. Persebaran luas dan padat spesies ini menunjukkan kesuksesan spesies ini dalam beradaptasi dengan habitat yang telah terganggu oleh aktivitas manusia. Di Indonesia, ular ini biasa ditemukan pada hutan primer dan hutan tertutup / tidak terganggu pada dataran rendah.
Ular ini sering ditemukan pada semak-semak, kadang-kadang juga akan masuk rumah warga karena sedang mencari mangsa tikus. Saat tidak aktif, ular ini akan mengumpat di daerah tertutup, seperti taman tak terurus, di sekitar selokan dan tempat teduh lainnya. Ular ini harus ditangani dengan sangat berhati-hati.
Semburan bisa tersebut dapat menyebabkan luka permanen kepada mata korban. kasus paling buruk akan menyebabkan buta permanen. Tubuh ular ini cukup tebal, buntutnya pendek. Kepalanya berbeda dari tubuhnya dan moncongnya berbentuk bundar. Warna tubuh ular ini sangat bervariasi dari setiap tingkat warna coklat hingga hitam, namun warna yang paling sering ditemukan adalah hitam, individu muda biasanya memiliki pola pucat pada daerah tenggorokan. Ular ini biasanya aktif pada malam hari, dimana ia memangsa terutama pada tikus dan amfibi (Bufo.sp)
Ular-sendok Mesir (Naja haje) adalah spesies ular sendok yang endemik di Benua Afrika. Sebutannya dalam bahasa Inggris adalah Egyptian cobra atau Egyptian Asp.[2]
Nama ilmiah genusnya, Naja, diambil dari kata Sansekerta, nāgá (नाग) yang berarti "ular-sendok". Sedangkan nama spesifiknya, haje, diambil dari kata Arab, hayya (حية) yang berarti "ular".[3]
Ular-sendok Mesir adalah salah satu jenis ular sendok terbesar di Benua Afrika. Kepalanya dapat dibedakan dari leher. Matanya besar dengan pupil bundar. Panjang tubuhnya (termasuk ekor) berkisar antara 1 sampai 2 meter, dengan panjang tubuh maksimum kurang dari 3 meter. Warna tubuhnya bervariasi, biasanya berwarna kecokelatan, kadang-kadang dihiasi dengan bercak-bercak terang atau gelap, serta terdapat corak di bawah mata. Beberapa spesimen yang ditemukan berwarna merah tembaga atau kelabu kecokelatan. Spesimen-spesimen yang ditemukan di Maroko dan Sahara bagian barat cenderung berwarna kehitaman. Bagian bawah tubuh (ventral) umumnya berwarna putih krim, kuning kecokelatan, kelabu, biru kelabu, cokelat gelap atau kehitaman, dan terkadang disertai dengan bintik-bintik.[4]
susunan sisik (scalation) pada ular-sendok Mesir terdiri dari sisik dorsal (tubuh atas) sebanyak 19-20 di bagian tengah, sisik ventral sebanyak 191-220, perisai (sisik) anal tunggal, sisik subkaudal berpasangan sebanyak 53-65 buah, satu sisik preokular, 3 (atau 2) sisik postokular, dan 2 atau 3 sisik subokular, kemudian sisik labial (bibir) atas sebanyak 7 (sedikitnya 6 atau 8) buah (terpisah dari mata oleh sisik subokular), sisik labial bawah sebanyak 8 buah, serta sisik temporal 1+2 atau 1+3.[4]
Ular-sendok Mesir tersebar luas di Afrika bagian utara, meliputi Algeria, Burkina Faso, Kamerun, Rep. Afrika Tengah, Rep. Demokratik Kongo (Zaire), Chad, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Guinea-Bissau, Guinea (Conarky), Kenya, Libya, Mali, Sahara barat, Mauritania, Maroko, niger, Nigeria, Senegal, Somalia, Sudan, Tanzania, Uganda, Zimbabwe, dan juga disebutkan terdapat di Yaman.[1]
Ular-sendok Mesir dapat dijumpai di berbagai habitat seperti stepa, sabana, gurun (semi-desert) dengan sedikit persediaan air dan vegetasi. Ular ini kerap ditemukan di dekat sumber air. Ular ini juga dapat ditemukan di daerah pertanian, serta di pemukiman manusia di mana ular ini sering masuk ke rumah. Ular ini berkeliaran ke perkampungan karena hewan pengerat dan unggas peliharaan. Ada juga catatan yang menyebutkan bahwa ular-sendok Mesir berenang di Laut Mediterania.[4][5]
Ular-sendok Mesir adalah ular terestrial (hidup dan berkelana di atas tanah) dan nokturnal (berkelana pada malam hari). Akan tetapi, ular ini juga terlihat sedang berjemur pada pagi hari. Ular ini menyukai tempat tinggal tetap berupa liang hewan yang terlantar, gundukan rayap, atau bebatuan. Ular ini kadang-kadang juga memasuki pemukiman manusia, terutama ketika berburu unggas peliharaan. Mereka adalah ular yang berani, sering kali berdiri tegak saat terancam. Ia dikenal dengan tampilan tudungnya yang ikonik dan dapat menyerang dengan cepat ketika diprovokasi.[6] Seperti jenis ular-sendok lainnya, ular ini akan mengangkat kepala dan mengembangkan lehernya ketika terancam, walaupun ular ini biasanya lebih memilih melarikan diri. Makanan utama ular ini adalah kodok, tetapi ular ini juga memangsa mamalia kecil, burung, telur, kadal, dan ular lain.[5][7]
Ular-sendok Mesir, spesimen dari
Ular-sendok Mesir adalah salah satu ular berbisa yang sangat mematikan. Racun bisanya terutama bersifat neurotoksin dan sitotoksin.[8] Bisanya berpengaruh terhadap sistem saraf, dan juga mampu mempengaruhi kerja jantung dan paru-paru, serta menyebabkan gangguan pernapasan dan kematian. Gejala yang timbul setelah digigit di antaranya rasa nyeri, sedikit pembengkakan, memar, nekrosis, dan beberapa gejala lainnya seperti sakit kepala. Tidak seperti beberapa spesies ular-sendok (spitting cobra) Afrika lainnya, ular ini tidak mampu menyemprotkan bisa.[9]
Ular-sendok sumatra (Naja sumatrana) adalah spesies ular sendok penyembur (Spitting cobra) yang endemik di Asia Tenggara. Ular ini juga disebut kobra hitam, Kobra sumatra, kobra melayu, atau kobra khatulistiwa. Sebutannya dalam bahasa Inggris di antaranya Equatorial spitting cobra, Malayan spitting cobra, Sumatran spitting cobra, black spitting cobra, atau golden spitting cobra. Ular ini merupakan salah satu jenis ular sendok yang mampu menyemprotkan bisa ke arah pengganggunya.
Panjang tubuh ular-sendok sumatra umumnya berkisar antara 0.9 sampai 1.2 meter, tetapi bisa juga mencapai 1.5[2] atau 1.6 meter.[3] Kepalanya berbentuk elips dan dapat dibedakan dari lehernya. Matanya berukuran sedang dengan pupil bundar.[3] Ular ini tidak memiliki tanda pada lehernya. Pewarnaan tubuhnya memiliki dua varian: warna kekuningan pada spesimen-spesimen di Thailand, dan warna kehitaman pada spesimen-spesimen di kawasan Nusantara (Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina).[4]
Sisik-sisik pada dorsalnya (tubuh atas) tersusun sebanyak 15 sampai 19 baris di bagian tengah badan,[3] sisik ventral sebanyak 179 sampai 201 buah, dan sisik subkaudal sebanyak 40 sampai 57 buah.
Ular-sendok sumatra tersebar di Thailand, Malaysia, Indonesia (Sumatra, Bangka-Belitung, dan Kalimantan), dan Filipina (Palawan, Kep. Calamian, dan mungkin juga pulau-pulau di sekitarnya).[1]
Ular-sendok sumatra terdapat di daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.500 meter dpl. Habitat utamanya adalah hutan, tetapi juga sering ditemukan di daerah perkebunan dan pemukiman. Ular ini aktif pada siang hari (diurnal) dan berkelana di atas tanah (terestrial).[3] Makanan utamanya adalah tikus dan katak,[4] akan tetapi ular ini juga memangsa ular lain, kadal, dan beberapa hewan kecil lainnya.[3]
Seperti jenis kobra lainnya, ular-sendok sumatra memiliki racun bisa neurotoksin. Kemungkinan juga terdapat kandungan kardiotoksin dan sitotoksin pada bisanya. Ular ini juga mampu menyemburkan bisa ke arah mata pengganggunya. Bisa yang mengenai mata akan menyebabkan kebutaan apabila tidak segera ditangani.
Ular-sendok India (Naja naja) atau dalam bahasa Inggris disebut Indian cobra, spectacled cobra, Asian cobra, atau binocellate cobra, adalah spesies ular sendok yang tersebar di Asia Selatan, dan salah satu dari beberapa jenis ular yang banyak menimbulkan kasus gigitan mematikan di India.[2][3] Ular-sendok India sangat terkenal dalam mitologi dan kultur India, serta menjadi bahan pertunjukan pawang ular.
Nama genus dan sekaligus nama spesifik ular ini, Naja, diambil dari kata bahasa Sansekerta: नाग (nāgá), yang berarti "ular-sendok".[4] Spesies ini dideskripsikan pertama kali oleh ilmuwan Carl Linnaeus pada tahun 1758.[5][6] Sebutan-sebutan lokal untuk ular ini di India di antaranya: Nag (Hindi/Marathi), Moorkhan (Malayalam), Naya (Sinhale), Nagu Paamu (Telugu),[7] dan Nalla pambu (Tamil).[7]
Seekor ular-sendok India berukuran panjang antara 1 sampai 1,5 meter. Beberapa spesimen, misalnya yang ditangkap di Sri Lanka, panjangnya sekitar 2 sampai 2,2 meter.[8] Sisik-sisik dorsal (tubuh bagian atas) terdiri dari 23 baris (21–25) di bagian tengah badan. Sisik-sisik ventral (bagian bawah tubuh) sebanyak 171–197 buah. Sisik-sisik subkaudal sebanyak 48–75 dan terbagi (divided), serta sisik anal tunggal. Sisik labial (bibir) atas sebanyak 7 buah, salah satu sisiknya bersentuhan dengan sisik nasal anterior, dan beberapa sisik bersentuhan dengan mata. Sisik labial bawah sebanyak 9–10 buah, dan terdapat sisik angular cuneate kecil di antara dua sisik dari sisik-sisik labial bawah tersebut. Sisik preokular bersentuhan dengan sisik internasal, dan 3 sisik postokular. Sisik temporal sebanyak 2 + 3.[9]
Pewarnaan tubuh ular-sendok India bervariasi berdasarkan sebarannya. Pewarnaan pada bagian bawah tubuhnya di antaranya kelabu, kuning, cokelat, kemerahan, atau hitam. Tubuh bagian atasnya bisa memiliki motif atau pola warna tertentu. Beberapa spesimen, misalnya dari Sri Lanka, memiliki sedikit belang pada punggungnya. Di Pakistan, ular muda berwarna kelabu dan bisa memiliki tanda pada leher atau tidak, sedangkan ular dewasa berwarna kehitaman pada tubuh atas, serta warna lebih terang pada tubuh bawah (kecuali bagian leher). Sebagian besar spesimen ular-sendok India yang ditemukan memiliki belang lebar berwarna gelap di lehernya. Ular-sendok India adalah salah satu jenis ular-sendok yang memiliki tanda di leher belakangnya. Ketika ular ini mengembangkan lehernya, tanda tersebut berubah menjadi dua motif yang saling terhubung melalui garis kurva, membentuk pola menyerupai kacamata (spectacles).[8]
Ular-sendok India tersebar di Pakistan, India (hampir semua daerah, termasuk Madhya Pradesh, Assam, Tamil Nadu, Punjab, Maharashtra, Kerala, Gujarat), Sri Lanka, Bangladesh, Nepal, Bhutan, dan Afganistan (masih dipertanyakan).[1]
Ular-sendok India menghuni daerah dataran rendah hingga ketinggian 2000 mdpl. Habitat ular ini cukup beragam, meliputi hutan terbuka, dataran luas (plains), lahan pertanian, daerah berbatu, dataran basah (wetland), dan bahkan di sekitar permukiman manusia, misalnya perkampungan. Ular ini tidak dapat ditemukan di gurun atau padang pasir. Ular ini menyukai tempat-tempat tersembunyi seperti celah pohon, bebatuan, dan sarang mamalia kecil.[9][10]
Ular-sendok India berkembang biak dengan bertelur (ovipar). Jumlah telur yang dihasilkan sebanyak 10 sampai 30 butir dan akan menetas setelah diinkubasi selama 48 sampai 69 hari. Anak ular yang baru menetas berukuran panjang antara 20 sampai 30 cm dan kelenjar bisanya sudah dapat berfungsi.
Ular-sendok India mengembangkan lehernya
Pola "kacamata" pada leher belakangnya
Ular-sendok India, spesimen berwarna albino
Ular-sendok India di keranjang pawang ular
Seperti halnya ular sendok lain, ular-sendok India adalah ular berbisa yang mematikan. Racun bisanya memiliki kandungan post-sinaptik neurotoksin[9] dan kardiotoksin.[9][11] Bisa ular ini melumpuhkan saraf, menimbulkan paralisis, dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan berhentinya kerja jantung. Komponen bisanya juga mengandung enzim seperti Hyaluronidase yang mengakibatkan lisis dan mempercepat penyebaran bisa. Gejala-gejala akibat bisa ular ini mulai terasa dalam waktu 15 menit sampai 2 jam setelah gigitan.[12]
Ular-sendok India adalah salah satu dari "empat besar" jenis ular India, yang banyak menimbulkan kasus kematian manusia akibat gigitan ular di Asia. Antibisa Polivalen tersedia untuk mengobati gigitan dari ular ini.[13] Tanaman Temu putih (Curcuma zedoaria) yang dianggap obat efektif untuk gigitan ular,[14] tampak menjanjikan dalam uji eksperimennya terhadap bisa ular-sendok.[15]